Takdir
Aku tidak bisa menerka takdir di
masa yang akan datang.
Apakah baik atau buruk, hingga
kematian memisahkan
Aku
tidak memikirkan itu sebelumnya. Ibu setengah baya yang datang kemarin ke
rumahku itu ternyata sedang hamil 2 bulan. Suaminya baru saja meninggal karena
kecelakaan lalu lintas di kampungnya. Anak pertamanya berumur 4 tahun sudah diadopsi oleh kerabatnya. Ia datang ke
rumahku awalnya hanya ingin mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya dan
calon bayinya yang ada di kandungan.
Ibu
itu menangis tanpa suara. Matanya nanar menatap mama. Perempuan belum genap 30
tahun itu memelas meminta pekerjaan kepada mamaku.
“Benar kamu
sungguh-sungguh mau kerja di sini?” Tanya mamaku
“Ya bu, saya bisa
bantu-bantu cuci pakaian.” Balasnya meyakinkan mama.
Dengan rasa iba mamaku
akhirnya mengijinkan Ami tinggal bersama keluargaku. Sebagai ibu, dia telah
bisa bekerja pekerjaan rumah tangga, dari mengepel, bantu mencuci sampai membantu menyiapkan makanan untuk papaku. Papa, mama, dan kakakku sayang padanya karena
rajinnya mengurus pekerjaan rumah tangga.
Begitu cepatnya waktu
Kedua matanya yang
sembap merayapi senja yang turun di rindangnya pepohonan. Rasanya begitu cepat
waktu berlalu sampai 9 bulan menjelang kelahiran bayi laki-laki itu tiba.
“Luky Heryanto papa beri nama. Semoga anak ini menjadi
harapan dan keberuntungan baik di tengah
keluarga tercinta” Papaku menjelaskan
kepada keluarga.
Alhamdulillah bayi
lelaki itu lahir dan besar dengan sempurna di tengah-tengah keluarga kami.
Terkadang Ami menghapus
air matanya yang jatuh ketika mengingat anak sulungnya yang sudah diadopsi oleh
kerabat, namun tidak diberikan kesempatan untuk menjenguk bahkan mendekati dari
kejauhan. Padahal sebenarnya aku tahu Ami bukan berasal dari keluarga
kekurangan, almarhum ayahnya memiliki banyak kost-kost an di Ibukota. Namun aku
dan keluarga sepakat tidak mengotak - atik bagian harta dari Ami. Aku tahu hal
ini dari tukang urut yang mengantar Ami ke rumahku.
Tinggal bersama kami
menjadi keputusan yang paling besar dalam hidup Ami. Aku tidak bisa
membayangkan betapa sedihnya ditinggal oleh orang-orang yang disayang. Suami
dan anak pertamanya tidak membersamainya lagi.
“ Kenapa Ami, sedih ya
mengingat Alvi anakmu?” kadang aku bertanya seperti itu karena aku merasakan
kepedihan hinggap di wajahnya.sebagai ibu kandung. Selama mengandung 9 bulan tergambar
jelas ketika Ami menceritakan dengan kenangan indah bersama suami dan anaknya
semasa hidup.
Perempuan yang masih menitikkan
air mata kesedihan itu menjawab
“Iya La, Aku inget Alvi…mungkin dia sudah
bahagia di sana dengan ibu angkatnya.”
Terkadang
aku mencoba menghiburnya dengan jalan-jalan di sekitar komplek rumahku atau
sekedar mendengrkan lagu-lagu lawas zamannya jika dia mengingat kenangan lalu.
2
tahun kemudian
Ma, mamaaaa…!
Teriakan panik itu
menghentikan gerak tangan mama yang sedang memoleskan bedak bubuk ke wajah
mamaku.
Ami
ketabrak motor, ma!” sekarang sudah
dibawa ke rumah sakit. Mamapun tergesa-gesa ke depan rumah sambil memastikan
kabar yang baru didengarnya. Dengan nafas tersengal-sengal menanyakan bagaimana
kabar Ami sekarang.
“Ami ketabrak motor,
langsung di bawa ke rumah sakit.” Ucap tetanggaku yang ikut menolong saat
kejadian.
Mamaku dengan sigap
menyusul ke rumah sakit tanpa memerhatikan lagi daster butut yang dipakainya.
Ojeg langganannya langsung mengantar mama ke rumah sakit.
di
rumah sakit
Bau khas karbol rumah
sakit menyengat di hidung. Beliau
terbiasa dengan bau minyak wangi yang dibelikan papa atau minyak gosok
pilihannya.
Di ruangan UGD mama melihat tangan dan lutut Ami sedang dibersihkan.
“Bagaimana keadaannya,
dok, apakah baik-baik saja?” Tanya mamaku kepada dokter yang merawatnya.
“Tidak apa-apa bu,
hanya luka ringan. Paling nanti memarnya yang bikin sakit.” Dokter menjelaskan.
Mamaku
itu perhatian sekali kepada Ami. Memperlakukannya sudah seperti anak kandungnya
sendiri. Sampai-sampai kebutuhan
harianpun diperhatikan seperti anaknya yang lain. Papa juga memperlakukan Ami seperti
anak sendiri. Aku bersyukur memiliki orangtua yang cinta sesama meskipun bukan sedarah.
Anak yang dilahirkan
Ami tumbuh menjadi anak yang sehat tak terasa besok Luky ulang tahun.
Kupersiapkan
uang hasil honor mengajar meskipun
dengan membeli sepeda roda 3 bekas
karena seorang guru honorer memiliki uang yang pas-pasan untuk pulang pergi dipakai ongkos ke sekolahpun habis. Untuk
menambah penghasilanku kadang sepulang sekolah aku mengajar baca tulis anak
tetangga di sekitar komplek rumah.
Kami keluarga
sederhana. Rumah besar yang kami tempatipun sudah mengalami kerusakan di sana
sini. Meski begitu papa selalu menanamkan prinsip.
“Kita memang bukan
orang kaya! Kitapun bukan orang miskin. Tapi jangan sekali-kali kesusahan kita
itu diketahui orang lain.”
Itu yang selalu
diucapkan papa kepadaku.
Harus kuakui merekalah
teman sejatiku yang selalu siap membantu.
Mama menghampiri dan
mengelus kepalaku anak gadis satu-satunya itu, dan kamipun mulai menyantap
makanan yang sudah tersedia di meja makan.
Yang
diketahui orang-orang kampung itu papaku seorang tokoh agama dan ketua DKM di
masjid belakang rumah. Orang-orang respek kepadanya karena beliau tidak pernah
ketinggalan mengimami sholat 5 waktu. Namun akibat penyakit strooke papa, kaki kanannya sudah tak
sempurna lagi. Untuk berjalan kaki saja terkadang sandal yang dipakainya entah
tertinggal di mana.
Mamaku kadang
menguatkan aku “Betapapun susahnya kita, tetangga tak perlu tahu.”
Suara mama teduh saat Luky
merengek ingin dibelikan baju seperti yang dimiliki anak tetangga sebelah
rumah.
“Nanti ya, nak! kalau kontrakan
sudah ada yang membayar.” Alhamdulillah Luky selalu mengerti seakan tahu
keadaan keluarga.
Demikian lah hidup mama
dan papa mengalir saja. Seperti rel kereta yang tak dapat ditebak arahnya.
Sudah hampir 3 bulan
Ami sakit-sakitan. Kata dokter ada tumor ganas di rongga mulutnya.
Kekhawatiranku bertambah ketika aku tahu bahwa dia menderita andromium dan batu
di kantung empedu. Penyakit yang saat iman terasa lemah , kadang menggodanya untuk
berharap cepat dipanggil Tuhan.
“Tentang penyakit ini
aku tidak ingin dioperasi karena aku tidak ingin sembuh. Suamiku sudah menunggu
di sana.” Ami berucap lirih kepadaku
Sudah berobat ke dokter
puskesmas namun sakitnya makin parah. Karena tidak ada biaya untuk merawatnya
di rumah sakit, kami berusaha merawat di rumah dengan seadanya.
“Aku sudah tenang Luky sudah ada yang menjaga
dan merawatnya. Kelak anak aku hidupnya tidak seburuk hidup ibunya, aku ingin
hidupnya layak disayangi, dicintai, dihormati serta dihargai oleh orang lain kuingin
dia mendapatkan takdir baik yang tidak aku dapatkan”. Ami berkata pelan
kepadaku.
Mata
Ami tertuju kepada Luky ketika bermain sepeda memutar-mutar ruangan tamu rumah, dan dengan
kepolosannya Luky hanya berpikir sepeda yang dia miliki berstatus baru Luky sangat menikmati masa kecilnya
sambil tertawa terlihat gigi-gigi kecilnya yang berbaris rapi.
“Bicara apa kamu Am,
tidak boleh bicara yang tidak-tidak kamu itu akan berumur panjang dan akan menyaksikan
Luky hingga dewasa. Bicaramu meracau.” Aku mencoba mengelak apa yang diungkapkan Ami.
Aku tepiskan jauh-jauh.
Perempuan berkulit
kuning langsat itu menatapku. Mencoba menyunggingkan senyum, ketika bibirnya
yang bergetar terbuka
“Terimakasih Lala, Lala
sudah memberikan ruang buatku untuk curhat dan melepaskan segala sedih hati.
Terimakasih sudah mau menyayangi aku dan
anakku.” Menyusul dengan kata-kata seperti perpisahan.
Tak terasa air mataku
jatuh melihat Ami memeluk buah hatinya yang raganya sudah lemah dan tidak bisa
lagi menggendongnya seperti dulu.
“Aku sedih mendengar
kamu bicara seperti ini, bisikku, “salahkah?”
Ami hanya menggelengkan
kepalanya.
Tepat ketika dia berjuang
menghadapai sakitnya sakaratul maut, sempat berfikir…lebih baik mati saja.
Dengan begitu selesailah semua drama kehidupan.
Hari ini selesailah
semua seluruh skenarioNya. Ami meninggalkan keluarga kami. 2 tahun kukenal yang
diawali oleh rasa suka cita dan kebahagiaan berakhir dengan banjir air mata.
Luky pun
masih belum paham jika orangtuanya sudah tiada. Karena yang dibayangannyapun
tak kenal kesedihan yang dialami oleh ibunya. Masih ada orang yang menyayangi
Luky meskipun ibunya telah tiada. Aku pernah menyaksikan Ami menitip pesan
kepada Luky saat Luky masih berusia satu tahun agar sholat yang
rajin, belajar al qur`an yang baik. Semoga Luky kelak menjadi orang yang
berhasil di dunia maupun akhirat kelak.
No comments:
Post a Comment