Tuan Sang Pembawa Rindu
Kalian pernah dengar dialog dua
insan yang sedang merindu? Dulu aku sering mendengar mama dan papa berbincang
di telpon.
Mereka saling mengungkapkan rindu yang bahkan sangat menggelikan saat
terdengar. Seringkali aku mendecak, “dasar perbincangan orang dewasa.
Aneh.” Bahkan saat mama menutup
teleponnya, beliau mengeluh masih merindukan papa. Astaga, apa setengah jam
berbincang ria tidak cukup untuk mengobati rasa rindu tiga bulan kedepan?
Tidak hanya mama, kak Devano juga sama
halnya seperti mereka. Aku selalu mendengar percakapan tengah malam dengan
kekasihnya. Dan jauh lebih aneh daripada kedua orangtuaku, mereka saling
mengucapkan dan bertukar kata-kata manis, rasanya seperti mau muntah di tempat.
Lebih parahnya lagi, mereka selalu bilang kangen padahal lima jam yang lalu
baru mengelilingi Bogor bersama..
“Kamu
aneh kak, menurut logika gak ada baru bertemu lima jam yang lalu masa sudah
kangen?” tanyaku protes.
Kak
Devano hanya tertawa kecil sambil mengelus rambutku, “Nanti juga kamu ngerti.”
“Ih,
nanti kapan? Aku butuh penjelasannya sekarang tahu!” masa bodoh terlihat keras
kepala, tapi aku hanya ingin hal kecil itu bisa diterima oleh akal.
“Dara,
kalau cinta semua pakai logika mungkin orang-orang gak mau jatuh cinta. Sama
halnya dengan rindu, buat apa Tuhan ciptakan hati? Ya itu… kamu bisa menerima
hal-hal yang logika gak bisa terima.”
Aku
mengerutkan dahi, “Apaan sih kak Dev! Gak
jelas
banget. Pokoknya kalian semua aneh, cuman aku yang normal.”
“Iya
deh bocil,” ledek kak Devano sambil menjitak pelan kepalaku.
“Aw!”
“Cerita ya, Dara kalau suatu saat
nanti kamu paham apa yang kakak jelaskan. Mungkin sekarang kamu masih terlalu
kecil,” haduh iyalah kak Dev apa yang kakak harapkan dari bocil empat belas
tahun.
Tapi, dua tahun kemudian semuanya
berubah. Tentang logika, tentang akal, bahkan pandanganku soal sesuatu, rindu. Hal itu sangat
jelas saat seseorang dengan senyum semanis madu dan bola basketnya datang
kedalam hidupku.
Rabu, 23 2001
Hujan
hari ini turun cukup deras, aku merapatkan sweater rajut berwarna mustard pemberian
dia. Ternyata bandara Soekarno Hatta sore ini sangat ramai. Ngomong-ngomong aku
pernah dengar dari seseorang, bandara itu banyak kisahnya. Ada ribuan kisah
tentang kepergian dan kedatangan, kisah tentang rasanya berat melepas orang
yang disayang, kisah tentang rela merelakan.
Ah
yang terakhir, tentang Rindu.
Pasti
banyak yang sulit melepas atau bahkan tidak siap merindukan orang yang mereka
sayang di stasiun penerbangan ini. Termasuk aku. Tapi kali ini dia pulang. Kami
akan saling melepas rindu yang sudah terbendung sejak lama. Aku akan memeluknya
kembali, mencium aroma yang aku rindukan selama lima tahun tidak bertemu.
Iya…
lima tahun. Bukan lima jam seperti kak Devano dan kekasihnya. Dan ya… aku kualat.
Semua perkataan kak Devano benar. Menjadi budak cinta yang 1000 kali lipat
mungkin lebih menggelikan.
Aku
membaca ulang chat kami kemarin. Dia janji akan datang dengan selamat.
Tiba-tiba semua orang berkerumun
cemas. Air wajah mereka seketika berubah menjadi muram. Tidak ada senyum
sumringah seperti awal aku datang ke bandara ini. Bahkan banyak dari mereka
menangis sejadi-jadinya.
Ya
Tuhan… perasaanku ikut tidak enak.
“Permisi,
ini ada apa ya?” tanyaku pada seorang wanita setengah baya. Ibu tersebut mulai
menjelaskan. Kata demi kata aku simak dan pandanganku beralih ke sebuah
televisi. “PESAWAT JT-610 JATUH 189 ORANG DIKABARKAN MENINGGAL."
PYAAAR! Seketika pendengaran dan
tatapanku berubah
kosong. Aku tidak bisa mendengar apapun sekarang bahkan sekujur tubuhku lemas.
Entah apa yang terakhir kali aku lihat, semuanya menjadi gelap.
***
Hahaha, rasanya aneh ya? Aku nggak
pernah berpikir kalau kita bisa sedekat ini. Padahal pertemuan kita tuh gak
jelas tahu. Apalagi kesan pertama kamu ke aku “cewek dingin yang misterius”
tapi kamu salah kan? Aku gak pernah bersikap dingin sedikitpun sama kamu.
Enam tahun berjalan, aku menemukan
orang yang benar-benar tepat dihidupku. Walaupun kita harus terhalang oleh
jarak, tapi nyatanya kita gak pernah berpikir untuk berakhir meski seringkali
kita cekcok atau bertengkar hebat. Dan di tahun yang genap ini, aku masih bisa
melihat kamu. Walau yang aku lihat hanya gundukan tanah dan batu nisan. Hari
itu, benar-benar gak bisa aku lupakan. Kamu janji mau kasih aku coklat waktu
sampai bandara. Tapi mana? Kamu gak datang.
Aku
meletakkan buket bunga sembari berdoa, semoga kamu selalu diberikan ketenangan
di alam sana. Sesampainya di rumah, perasaan hampa dan rindu kembali datang. Kubuka laci nakas dan mengambil
secarik kertas beraroma citrus. Ini surat yang dia titipkan pada temannya
sebelum keberangkatannya ke Indonesia. Entahlah, mereka yang mau pergi pasti
selalu punya firasat kuat.
Halo,
Dara apa kabar?
Sebelumnya selamat ulang tahun ya. Maaf aku
ngucapinnya duluan karna aku gak tahu tahun baru aku masih ada atau engga hehe.
Kalau surat ini sekarang sudah ditangan kamu… berarti aku sudah pulang.
Aku
mau bilang banyak terimakasih, terimakasih pernah jadi bagian paling indah
dihidup aku. Terimakasih telah menjadi pertama dan terakhir, aku paham cepat
atau lambat pasti kita akan berpisah. Maaf selama ini aku buat kamu terlalu
lama menunggu.
Dara…
kalau aku bilang ini sekarang tolong jangan marah, tolong ikhlas ya? Maaf
selama ini aku bohong kalau aku kuliah di negara orang. Engga, aku sakit. Semua
badanku bengkak. Aku pergi karna aku mau sembuh, Ra. Aku pengen lihat kamu
lebih lama lagi. Tapi sekarang aku mau pulang, aku sudah terlalu lelah. Toh
pada akhirnya pasti aku akan pergi. Maaf jika nanti aku gak sekuat apa yang
kamu kira. Maaf jika nanti hadir dalam fisik yang lemah.
Mencintai
Dara bikin aku bahagia. Jika memang ada hari dimana bumi mendakwa aku untuk
pergi, aku gak pernah bosan kalau aku sangat beruntung pernah milikin kamu.
Terimakasih Tuhan saat aku minta bahagia, engkau beri wanita termanis yang
pernah aku temui.
Osaka, 21 Desember
Aku mendekap surat itu, lalu menangis sambil
menyesali semuanya. Apa aku terlalu sibuk sampai gak tahu kalau kamu sakit?
Maaf karna tanpa sadar sering mengabaikanmu ya. Dan pada akhirnya mau tak mau,
suka tidak suka aku harus membuka lembaran baru. Satu hal yang paling berharga
adalah kamu dan segala kenangan yang kita jalani bersama. Terimakasih sudah
mengajarkan kesabaran, kesetiaan dan ketulusan. Kini aku harus mencoba
melepaskan kamu. Kepergianmu adalah akhir kisah cinta kita paling happy ending.
Berbagialah disana, aku selalu merindukanmu. Sekali lagi, terimakasih sudah
hadir Tuan Sang Pembawa Rindu.